Monday, February 21, 2011

Kekerasan, Anomali Demokrasi


Tulisan ini pernah dimuat di harian Seputar Indonesia, hari Senin, 21 Februari 2011.


Konfrontasi di Cikeusik antara oknum FPI dan Ahmadiyah akhir-akhir ini menyedot perhatian khalayak luas. Bagaimana tidak, kerusuhan yang terjadi di awal bulan ini tersebut turut merenggut nyawa dengan kondisi yang mengenaskan. Walaupun akhir-akhir ini semakin sering bermunculan, sebenarnya sedari dulu isu kekerasan sudah mewabah dan bahkan semakin parah semenjak transisi dari era orde baru ke medio reformasi. Demokrasi yang sebelumnya diharapkan dapat menjadi solusi baru bagi permasalahan bangsa agar tercipta rasa saling menghargai antar sesama cenderung gagal. Kini kekerasan dijadikan sebagai cara paling efektif untuk menyelesaikan masalah, walaupun pada kenyataannya sangat kontradiktif.

Kekerasan yang terjadi baru-baru ini terjadi memang diliputi isu agama. Akan tetapi tidak hanya agama, bidang politik, etnis, bahkan olahraga pun tak luput dari fenomena ini. Situasi Sidang Paripurna DPR yang panas kadang membuat para anggota dewan yang terhormat lepas kontrol, hingga membuat mereka saling adu jotos. Sepakbola nasional pun demikian. Bentrok antar suporter sudah biasa terjadi ketika tim kesayangan mereka bermain.

Namun, kekerasan yang sering muncul dengan skala besar adalah kekerasan dengan dalih agama dan etnis. Untuk kekerasan dengan dalih agama, kerusuhan di Ambon dan Poso menjadi contoh paling sahih. Dalam kasus kerusuhan Ambon, ada anggapan bahwa kerusuhan merupakan propaganda gerakan separatis RMS (Republik Maluku Selatan) untuk memperlicin jalan kemerdekaan bagi mereka. Berbeda halnya dengan konflik Poso yang diawali dengan perkelahian antar dua pemuda berbeda agama yang tinggal di Kabupaten Morowali, kemudian berkembang menjadi konflik antar komunitas dan meluas hingga mencapai kabupaten dan kecamatan lain. Sedangkan kekerasan antar etnis diwakili oleh konflik Sampit antara suku Dayak dan Madura.

Jika kita tinjau dari aspek historis, perjalanan usia bangsa ini sejak merdeka selalu didampingi dengan konflik yang berujung pada kekerasan. Kebanyakan memang dibumbui kepentingan politik yang mengiringi langgeng dan atau berakhirnya rezim penguasa semacam Gerakan 30 September, Malapetaka 15 Januari (Malari), hingga Reformasi 1998. Menurut Jacque Rousseau (1712-1778), manusia dalam keadaan alamiahnya sebagai ciptaan yang polos, tidak egois dan tidak altruis. Hanya rantai peradabanlah yang telah membentuk manusia memiliki sifat menyerang seperti keadaannya saat ini.

Berarti ada kaitan antara perkembangan peradaban manusia dengan maraknya kekerasan yang timbul. Dalam hal ini kekerasan akan timbul jika kemampuan adaptasi masyarakat lambat dengan adanya perubahan. Buktinya, era reformasi dengan ‘iming-iming’ demokrasi tidak menghasilkan solusi bagi persatuan dalam kemajemukan bangsa. Isu kekerasan yang sensitif semakin diperparah dengan keberadaan media yang tidak transparan dan malah memihak. Seperti pada konflik Ambon, wartawan saling membela golongannya sehingga menimbulkan kesimpangsiuran pemberitaan. Belum lagi keberadaan polisi yang tidak menghentikan kericuhan dan hanya diam menunggu konflik mereda.

Kekerasan merupakan keadaan alamiah manusia dan hanya suatu pemerintahan negara yang menggunakan kekerasan terpusat dan memiliki kekuatanlah yang dapat mengatasi keadaan ini, (Thomas Hobbes, 1588). Pemerintah sebagai arbiter seharusnya lebih tanggap dan melakukan langkah-langkah preventif ketimbang sibuk mencarikan solusi pasca konflik. Budaya kekerasan merupakan noda demokrasi dan sebuah aib yang bisa menurunkan martabat bangsa Indonesia sendiri. Pemerintah seharusnya lebih concern pada isu ini dan belajar dari masa lalu. Jika hal tersebut mampu dilakukan, bukan tak mungkin kekerasan dapat direduksi.
  

0 comments:

Post a Comment