Wednesday, February 16, 2011

Hidup yang Penuh Kemungkinan


Kadang kita ngga sadar tujuan hidup kita apa. Mungkin lo pernah kebangun di tengah malam malam dan merenungkan hal itu. Mungkin ketika sesaat sebelum tidur atau mungkin saat lo bangun di pagi hari dan ngga sadar lo ada dimana. Yah, kita semua mungkin pernah ngalamin hal itu. Jikapun lo ngga, seenggaknya gue pernah.

Entah kenapa kadang gue merasa hidup orang lain itu lebih baik dari gue, atau lebih tepatnya mereka lebih mampu dari gue. Dalam hal ini gue ga membicarakan soal finansial aja, tapi juga kapabilitas mereka dalam ngatasin masalah dalam hidup mereka. Memang masing-masing orang punya masalahnya sendiri. Tapi (lagi-lagi) entah kenapa gue masih merasa mereka lebih baik dari gue, dengan masalah berbeda yang gue hadapin. Apa memang gue yang terlalu senang melihat kegagalan orang lain atau gue merasa bisa ngambil pelajaran dari apa yang gue lihat atas kegagalan mereka? Ambil contoh temen gue yang sejak SD sampai SMP selalu satu sekolah sama gue. Sejak gue satu kelas di kelas 5 (sebelumnya gue selalu beda kelas) sampe lulus SMP, gue 3 kali sekelas sama manusia itu dan peringkat gue selalu di bawah dia. Gue cuma bisa ngelampauin dia pas General Test (istilah ujian umum dari SD ke SMP) dan itupun kalau itu dianggap sebagai ‘persaingan’. Juara di Premiere League lebih prestisius ketimbang juara di Community Shield ‘kan? Itu yang gue pikirkan.

Persaingan (kalau sebutan ini boleh gue pakai) kembali berlanjut. Gue kembali sekelas dengan dia di tingkat 2. Kelas 8. Hasilnya kembali sama. Bahkan kali ini dengan margin yang amat tipis. Kemudian ketika di SMA, gue masuk ke sekolah yang ga bisa dibilang lebih baik, yang lebih baik ga usah disebutkan. Ketika gue ‘divonis’ masuk konsentrasi sosial, dia dengan mudahnya masuk konsentrasi yang berbeda. Sampe sekarang, bisa dibilang dia sudah di lap terakhir dan gue masih di pit stop,ketinggalan beberapa lap. Gue agak meragukan keabsahan peribahasa ‘sepandai-pandainya tupai melompat pasti akan jatuh juga’ di dunia nyata. Karena jelas, di dunia nyata ada beberapa ‘ tupai’ yang tidak jatuh juga. Gue yakin ga cuma gue doing yang pernah ketemu orang yang seperti itu. Kalian juga pasti pernah. Kalaupun ngga, yah, mungkin lo tinggal di ‘hutan yang dipenuhi dengan tupai yang sering jatuh’.

Kembali ke topik, ‘kecemburuan’ yang gue rasain kepada ‘tupai’ yang gue sebut di atas sejujurnya menghancurkan pandangan gue akan hidup. Hidup (terutama prosesnya) selalu gue deskripsikan bagai sebuah roda. Lo gak akan selalu di atas, ada saatnya ketika lo dibawah. Seharusnya ketika lo di atas, lo bersiap untuk kembali di bawah. Sebaliknya, ketika lo di bawah jangan terlalu lama terpuruk, lo harus siap untuk kembali ke atas. Itu sebabnya ketika optimisme sedang tinggi, gue selalu memikirkan hal paling buruk yang mungkin terjadi, vice versa. Pandangan (tentang) hidup menurut gue itu ternyata ga bisa tersinkronisasi dengan ‘tupai yang tak pernah jatuh’ itu. Menurut gue, roda hidup yang mereka jalani berbeda dengan gue. Mereka seakan-akan mengayuh di lintasan menanjak. Posisi ketika mereka di atas akan relatif sama dengan ketika mereka di bawah. Karena itu mereka gue golongkan sebagai golongan eksponensial, golongan dengan putaran roda yang semakin menanjak.

Tulisan gue emang kelihatan kayak sekumpulan sampah. Dasar tulisan ini bahkan cuma kegelisahan ketika tidur, pengalaman pribadi yang ga semua orang sama dan kemungkinan-kemungkinan yang saling gue hubungkan. Sedikit mengutip kata-kata dari film yang pernah gue tonton,
kita hidup di alam penuh posibilitas (kemungkinan)’.
Jadi tak ada salahnya bila gue maksimalkan kemungkinan itu bukan?

0 comments:

Post a Comment