Thursday, July 21, 2011

Sejenak Berpikir Radikal


Rusuh. Satu kata yang semakin marak terjadi di cakrawala kehidupan manusia Indonesia. Mulai dari hal-hal sepele macam pertengkaran antar dua pemuda kampung yang saling rebut seorang wanita, sampai antar petinggi negara yang saling saing berbasis argumen payah demi kelanggengan hubungannya dengan kursi empuknya. Tapi suatu hal lucu dan miris jika kita menambahkan satu bumbu disini. Bagaimana jika pertengkaran antara dua pemuda yang berbeda kampung itu kemudian memicu pertarungan antar kampung seperti yang terjadi di Poso? Atau apa yang terjadi jika hasil kelanggengan petinggi itu justru melahirkan Soeharto baru?
Hal-hal semacam ini memang bukan hal yang baru di Indonesia. Tapi tunggu sebentar, benarkah bukan hal yang baru? Atau memang stigma seperti itu sudah melekat di otak-otak lusuh kita sehingga secara tidak sadar – maupun sadar – kita menganggap hal itu sudah menjadi biasa? Agar pembahasan ini bisa disandingkan dengan data empirik, lebih baik kita kerucutkan kembali. Kerusuhan yang kali ini penulis bahas memiliki keterkaitan erat posisinya dengan sistem pendidikan, terutama di wilayah Jakarta dan sekitarnya. Dan jika pembahasan korelasi antara sistem pendidikan dan kerusuhan, tema yang kita bahas tentunya akan semakin mangerucut pada satu kata: Tawuran.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata tawuran yang berdasarkan kata tawur, memiliki arti perkelahian beramai-ramai atau perkelahian massal. Di Indonesia sendiri kata tawuran marak digunakan untuk merepresentasikan perilaku kekerasan yang terjadi antarpelajar. Khusus di wilayah Jakarta dan sekitarnya, berdasarkan data Polda Metro Jaya terdapat 36 tawuran yang terjadi selama kurun 7 bulan terakhir. Berarti ada sekitar 5-6 tawuran yang terjadi setiap bulannya yang tentunya menimbulkan kerugian dari segi fiansial maupun korban jiwa. Apa benar hanya dua aspek demikian saja? Tidak, ada satu hal penting juga yang perlu divaluasi agar kejadian seperti itu dapat cepat terdepresiasi. Moral.

Lantas bagaimana solusi yang efektif untuk mendekadensikan kerusuhan yang terjadi di tingkat pelajar? Sejalan dengan besarnya kerugian negara terutama dari segi produktivitas generasi mendatang, tentunya dengan mengesampingkan hak asasi manusia seperti hak untuk hidup (hal ini dianggap tak perlu mengingat tawuran dianggap arena perang bagi pelajar dimana mereka sudah siap mati saat menginjakkan kaki di medan tersebut). Ada satu metode yang bisa dilakukan pemerintah; metode radikal atau penulis lebih suka menyebutnya metode visioner yang konvensional.

Adapun metode visioner yang konvensional tersebut terdiri dari tiga opsi. Pertama, dengan mengadaptasi ide dari film Battle Royale, dimana semua pelajar yang terlibat tawuran dikumpulkan dalam satu tawuran untuk melanjutkan kembali tawurannya sampai lahir satu pemenang yang kemudian dipromosikan ke angkatan bersenjata atau agen intelijen negara. Kedua, mengirim mereka ke medan perang nyata. Ketiga, mengirim mereka semua ke negara-negara yang maju dalam segi persepakbolaan tanpa diberikan modal uang sepersen pun dan untuk menjaga kelangsungan hidupnya mereka dapat membantu klub sepakbola disana. Jadi dengan kata lain, apabila mereka berkualitas mereka akan bertahan hidup, vice versa.Dari ketiga opsi tersebut, sepertinya opsi ketiga yang paling menarik. Akan tetapi perlu diperhatikan pula segi negatifnya bila pemain yang berkualitas tersebut justru menetap dan menjadi warga negara dimana ia berlatih.

Akhirnya, terlepas dari itu semua yang perlu ditekankan dari tulisan ringan ini bukanlah sisi radikalitas ide dalam tulisan. Tapi bagaimana kita memandang persoalan untuk kemudian mencari jalan keluarnya. Poin radikal salah satu dari berbagai jalan keluar yang ada, bukan berarti solusi yang pasti.

0 comments:

Post a Comment